Siapa Itu Pangeran Diponegoro?

Pangeran Diponegoro, lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785, adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil ia dikenal religius, sederhana, dan lebih memilih tinggal di Tegalrejo bersama neneknya dibandingkan hidup di keraton. Diponegoro mendalami ilmu agama Islam, dekat dengan para ulama, dan sangat peduli pada rakyat kecil. Karakternya yang tegas, berpegang pada nilai agama, serta menolak dominasi Belanda menjadikannya sosok yang disegani sekaligus dicintai rakyat

Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825–1830 berawal dari ketidakpuasan Pangeran Diponegoro terhadap campur tangan Belanda di Kesultanan Yogyakarta. Pajak yang menindas, perampasan tanah rakyat, serta sikap Belanda yang dianggap merusak adat dan agama menimbulkan keresahan. Pemicu langsung perang adalah pemasangan patok jalan oleh Belanda di tanah leluhur Diponegoro di Tegalrejo.

Dalam perjalanannya, Perang Diponegoro meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dengan menyerang secara tiba-tiba lalu menghilang, sehingga Belanda awalnya kewalahan. Dukungan rakyat sangat besar karena mereka percaya pada kharisma, kepemimpinan, dan perjuangan Diponegoro.

Beberapa tokoh penting terlibat dalam perang ini, seperti Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin utama, Kyai Maja sebagai tokoh agama, serta Sentot Alibasyah Prawirodirjo sebagai panglima perang. Dari pihak Belanda, Jenderal De Kock memimpin pasukan dan menyusun strategi pertahanan benteng untuk menghadapi serangan gerilya Diponegoro.

Akhirnya, pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang melalui tipu muslihat Belanda saat menghadiri perundingan. Perang yang berlangsung lima tahun ini menelan korban sekitar 200 ribu orang Jawa dan menimbulkan penderitaan luas. Meski demikian, semangat perlawanan rakyat terhadap penjajahan semakin menguat. Diponegoro kemudian diasingkan ke Makassar hingga wafat pada tahun 1855.